Tap This All You Need Here by Affiliated Shopee

Tak Ikutan Bukan Berarti Tak Toleran





            Sepertinya menjadi sebuah perdebatan yang selalu muncul atau dimunculkan setiap dipenghujung akhir tahun. Sebuah perdebatan mengenai umat islam yang haram hukumnya mengucapkan selamat natal kepada pemeluk agama Nasrani. Sebagaimana dengan Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI)pada 1981 di masa Ketua Umum MUI Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah  atau lebih sering dipanggil dengan Buya Hamka, Fatwa MUI tersebut yang ditandangani Ketua Komisi Fatwa KH. Syukri Ghazali dan Seketaris H. Masudi.
            Majelis Ulama Indonesia (MUI) diharamkan atas umat Islam untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan perayaan Natal. Mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram.  Demikian bunyi fatwa MUI tentang perayaan Natal bersama.  Karena mengikuti ritual Natal itu sama dengan mengikuti ibadah umat ibadah agama lain.

Kemudian bagaimana umat islam dengan Tahun Baru Masehi?

            Mengutip dari seorang Kristolog Insan LS Mokoginta menuturkan, bahwa tanggal 25 Desember sebenarnya bukanlah hari kelahiran Yesus. Ini merupakan taktik teologis orang-orang Kristen pada masa lalu agar agama Kristen diterima oleh orang-orang Romawi Kuno yang selalu memperingati hari kelahiran Dewa Matahari pada tanggal 25 Desember. Sedangkan kelahiran Yesus adalah tanggal 1 Januari, makanya dinamakan Tahun Masehi, mesiah atau Al Masih. Karena jarak yang tidak terpaut jauh antara 25 Desember dengan 1 Januari, maka ucapan itupun disandingkan. Karenanya, bagi umat Islam sangat fatal jika ikut-ikutan mengucapkan kedua hari raya itu.
Jika demikian adanya, layakkah seorang muslim yang mengakui Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya mengucapkan selamat atas kelahiran Tuhan umat Kristiani? Bukankah mengucapkan selamat Natal dan Tahun Baru sama dengan melakukan dua kebodohan yang disadari sekaligus. Yakni mengakui Tuhan beranak dan peranakkan serta membohongi fakta sejarah hari milad/lahir Isa alaihi salam, yakni tanggal, 1 Januari. Maknanya sudah 2014  tahun silam Isa alaihi salam dilahirkan sebagai seorang manusia dan rasulullah sebelum nabi Muhammad SAW bukan sebagai Tuhan anak dari Tuhan Ibu Maryam. Oleh karena seorang muslim  yang mengucapkan Natal dan tahun baru “Merry Christmas & Happy New Year” kepada ummat Kristiani sama dengan dia mengucapkan “Selamat Hari Lahir Tuhan Anak, Isa Al-masih dari Pasangan Tuhan Bapa Alah dan Maria itu murapakan suatu kesalahan yang amat nyata dalam keyakinan ummat Islam.
Sehingga mengenai sikap seorang muslim tidak mau mengucapkan selamat natal dan tahun baru merupakan bentuk menyelamatan akidahnya dari segala penyimpangan. Karena menganai kedua hal tersebut yang sudah dijelaskan diatas adalah bukan soal muamalah melaikan tertait akidah seorang muslim yang harus dipertahankan agar tidak tercampur oleh akidah agama lain.

Dalam kehidupan bermasyarakat ini, tentunya seorang muslim tidak hanya hidup di tengah sesama kaum muslimin. Di tengah-tengah kita juga ada pengganut agama lain yang juga hidup bersama-sama dengan kaum muslimin. Maka sungguh indah ajaran Islam, karena Islam juga telah mengatur dan mengajarkan bagaimana harusnya seorang muslim dalam bermuamalah dan toleransi dengan agama lain.
Toleransi dalam Islam bukan berarti bersikap sinkretis. Pemahaman yang sinkretis dalam toleransi beragama merupakan dan kesalahan dalam memahami arti tasâmuh yang berarti menghargai, yang dapat mengakibat-kan pencampuran antar yang hak dan yang batil (talbisu al-haq bi al-bâtil), karena sikap sinkretis adalah sikap yang menganggap semua agama sama. Sementara sikap toleransi dalam Islam adalah sikap menghargai dan menghormati keyakinan dan agama lain di luar Islam, bukan menyamakan atau mensederajatkannya dengan keyakinan Islam itu sendiri.
Toleransi dalam beragama bukan berarti boleh bebas menganut agama tertentu, atau dengan bebasnya mengikuti ibadah dan ritualitas semua agama tanpa adanya peraturan yang mengikat. Akan tetapi, toleransi beragama harus dipahami sebagai bentuk pengakuan  akan adanya agama-agama lain dengan segala bentuk sistem dan  tata cara peribadatannya dan memberikan kebebasan untuk menjalankan keyakinan agama masing-masing.
Sikap penerimaan dan pengakuan terhadap yang lain, sebagai ajaran toleransi yang ditawarkan Islam, sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis maupun ayat Alquran cukup rasional dan praktis. Namun, dalam hubungannya dengan keyakinan (akidah) dan ibadah, tidak bisa disamakan dan dicampuradukkan, yang berarti bahwa keyakinan Islam kepada Allah swt  tidak sama dengan keyakinan para penganut agama lain terhadap tuhan-tuhan mereka, dan juga tatacara ibadahnya. Walaupun demikian, Islam tetap melarang penganutnya mencela tuhan-tuhan dalam agama manapun.
Toleransi antar umat beragama dapat dimaknai sebagai suatu sikap untuk dapat hidup bersama masyarakat penganut agama lain dengan memiliki kebebasan untuk menjalankan prinsip-prinsip keagamaan (ibadah) masing-masing, tanpa adanya paksaan dan tekanan, baik untuk beribadah maupun tidak beribadah dari satu pihak ke pihak lain.

Post a Comment for "Tak Ikutan Bukan Berarti Tak Toleran"