Pada suatu malam khadijah bermimpi
melihat matahari berputar-putar diatas Makkah, kemudian turun ke bawah di dalam
rumahnya. Khajidah mimpinyanya tersebut diceritakan kepada Waraqah bin Naufal
untuk menyikap takbir mimpinya. Waraqah menyampaikan bahwa khajidah akan
menikah dengan orang agung yang ketenarannya akan mendominasi jagad raya.
Dalam perbincangan tersebut waraqah
melihat kegundahan dalam wajah khadjiah yang sebelumnya belum Waraqh lihatnya.
Khajidah lantas tidak sekedar terpesona oleh ketampanan Muhammad al – Amin
namun ia juga mendengar dan melihat bahwa jagad raya ini tentram karena
keberadaannya.
Dalam hati Khajidah selalu terbayang oleh Muhammad Al-Amin. Selalu perupaya untuk mendekatkan dirinya kepada putra Abu Thalib yang yatim itu dan ia telah terbakar api cinta kepada putra Aminah tersebut. Tatkala siang Khijadah selalu gundah dan malam hari ia tertidur pulas dalam harapa untuk menyatu dengannya.
Persiapan Pernikahan
Awal pertemuan secara langsung
Khajidah dengan Muhammad adalah saat, Khajidah sedang mencari seorang yang
dapat dipercaya untuk diserahkan tanggungjawab mengurus dagangannya dan
membawanya ke negeri Syam. Pada saat itu Abu Thalib menawari pekerjaan tersebut
kepada Muhammad yang sekaligus keponakannya. Maka terjadilah dialog antara
Muhammada dengan Abu Thalib, yang kemudian seorang utusan khadijah untuk
memanggil Muhammad. Saat pertemuan pertama Khajidah yang dari awal tertarik
dengan kejujuran dan akhlak Muhammad menawarkan upah dua kali lipat yang dia
berikan kepada orang lain.
Muhammad menceritakan kejadian tersebut
kepada pamannya. Tanggapan sang paman adalah itu merupakan jalan yang sudah
ditetapkan oleh Allah sebagai rezki dan Anugrah kepada keponakannya Muhammad.
Rombongan pedagang Quraisy telah
siap berangkat, begitu pula Muhammad bersama dua budak suruan Khadijah untuk
membantunya. Sempainya pada tempat tujuan, barang dagangan Muhammad laris
terjual semuanya. Mereka sebelum pulang membeli barang-barang yang diperlukan
di daerah asal mereka di pasar Tuhamah. Di bawah kepemimpinan Muhamamad,
rombongan dagang Khadijah memperoleh laba yang meilmpah.
Khadijah pun ingin mengerti cerita
yang mengesankan selama perjalanan rombongan dagang itu dari Maisarah budaknya
yang bersamai Muhammad al-Amin. Maisarah menceritakan dua kenangan yang
mengesankan kepadanya: Pertama, Muhammad al-Amin ketika perselisih
pendapat dengan pedagang lain yanng beliau diminta untuk bersumpah dengan atas
nama Lata dan Uzza. Muhammad al-Amin
menjawab dengan perkataan “Makhluk paling hina dan palimg kubenci adalah Lata
dan Uza yang kau semabh itu”. Kedua, di Bushra bertemu dengan seorang
Rahib yang melihat Muhammad al-Amin duduk di bawah sebuah pohon untuk
istirahat, kemudian menghampiri dan menanyakan namanya. Mendengar nama Muhammad
al-Amin, ia berkata “Orang ini adalah nabi yang telah banyak kubaca kabar
gembira berkenaan dengannya.”
Api cinta Khajidah semakin berkobar, mendengar kisah-kisah yang mengesankan dan pengenalanya yang telah lama terhadap pemuda istimewa Makkah itu. Khajidah selain memberikan upah sesuai dengan kontrak dagang, juga memberikan hadiah sehingga Muhammad dapat memperbaiki kondisi hidupnya. Muhammad al-Amin memberikan kepada pamanya, semua yang diterimanya dari Khajidah.
Api cinta Khajidah semakin berkobar, mendengar kisah-kisah yang mengesankan dan pengenalanya yang telah lama terhadap pemuda istimewa Makkah itu. Khajidah selain memberikan upah sesuai dengan kontrak dagang, juga memberikan hadiah sehingga Muhammad dapat memperbaiki kondisi hidupnya. Muhammad al-Amin memberikan kepada pamanya, semua yang diterimanya dari Khajidah.
Tata Cara Meminang
Khajidah menceritakan segala yang
diketahuinya tentang Muhammad al-Amin kepada Waraqah bin Naufal sebagai orang
pintar dari Arab yang telah mengenal Muhammad sebelum Khajidah mengenalnya, dan
membenarkan semua ceritanya.
Pembenaran itu semakin Khajidah menaruh hati kepada nabi yang
dijanjikan itu. Khajidah telah
banyak menolak semua yang meminangnya termasuk para pembesar Arab seperti Uqbah
bin Mu’ith, Abu Jahal, dan Abu Sufyan.
Dari kesaksian para ahli sejarah dan penulis biografi, jika
Khadijah berkata kepada Muhammad, “Putra pamanku, dengan pengenalanku terhadap
dirimu, aku sangat berharap dapat menikah dengan mu”
Muhammad al-Amin itu pun menjawab, “Seyogianya aku mengutarakan
masalah ini kepada paman-pamanku sehingga aku dapat mengambil keputusan atas
dasar musyawarah dengan mereka.”
Sebagian ahli sejarah juga menulis, seorang wanita bernama Nafisah
binti Aliyah, salah seorang sahabat Khadijah menyampaikan pesannya kepada
Muhammad dengan berkata, “Mengapa di malam hari engkau tidak menyinari
kehidupanmu dengan seorang istri? Jika aku mengajakmu kepada keindahan,
kekayaan, dan kemuliaan, maukah kau menerimanya?”
Muhammad bertanya, “Siapakah maksudmu?”
“Khadijah”, jawabnya.
“Apakah ia rela dengan kondisi hidupku ini?”
“Ya. Tentukanlah
harinya sehingga wakilnya dan seluruh kerabatmu duduk bersama untuk
membicarakan pesta pernikahan.”
Perekrutan Muhammad
al-Amin dalam rombongan dagang hanya suatu alasan Khajidah untuk mewujudkan
keinginanya mengungkapkan kecintaannya yang membara dan keinginannya kepada
kekasihnya tanpa perantara. Ia pernah berkata kepada Muhammad. “Engkau telah
menguasai seluruh pikiranku. Aku mencintaimu seperti yang dikehendaki oleh
Tuhanmu dan sesuai dengan keinginanmu.”
Dari perjalanan itu
mimpi Khadijah yang
ingin menjadi istri Muhammad al-Amin akan segera terwujud. Berkata Khadijah
kepada dirinya, “Ya Tuhan, apakah takdir menentukan demikian bahwa aku adalah
wanita pertama yang dicintai oelh Al-Amin, Muhammad yang orang lain harus
tersiksa dan terkatung-katung demi menjalin hubungan dengannya?”
Khajidah
r.a diminta pendapat. Dengan jujur ia berkata kepada Waraqah: “Hai anak bapa
saudaraku, betapa aku akan menolak Muhammad SAW padahal ia sangat amanah,
memiliki keperibadian yang luhur, kemuliaan dan keturunan bangsawan, lagi pula
pertalian kekeluargaannya luas”.
“Benar
katamu, Khadijah, hanya saja ia tak berharta”, ujar Waraqah.
“Kalau ia
tak berharta, maka aku cukup berharta. Aku tak memerlukan harta lelaki.
Kuwakilkan kepadamu untuk menikahkan aku dengannya,” demikian Khajidah
menyerahkan urusannya.
Dialog Khadijah dengan Muhammad al-Amin
Setelah Muhammad al-Amin
bermusyawarah dengan Abu Thalib pamanya, ia pergi ke rumah Khadijah untuk
mengambil upah dan hadiah yang akan diberikan kepadanya. Muhammad al-Amin
mendapatkan penghormatan khusus dari
Khajidah dan melantunkan beberapa syair untuknya.
“Apakah engkau memiliki keperluan yang dapat kulakukan?”
Putra Aminah tidak mengucapkan sepatah kata pun karena rasa malunya
yang tinggi.
“Apakah aku dapat bertanya sesuatu kepadamu?”
“Silakan.”
“Apakah yang akan kau lakukan dengan upah perdagangan itu?”
“Apa maksudmu?”
“Aku ingin tahu apakah aku dapat melakuan sesuatu untukmu?”
“Pamanku, Abu Thalib menginginkan aku menikah dengan modal
tersebut.”
Dengan senyuman yang bercampur dengan kebahagiaan Khadijah berkata,
“Apakah kamu setuju jika aku merealisasikan keinginan pamanmu itu? Aku kenal
seorang wanita yang—dari segi kesempurnaan dan kecantikan—sangat sesuai
denganmu; seorang wanita yang baik, suci, dan berpengalaman. Sudah banyak orang
yang ingin menjalin hubungan dengannya dan wanita-wanita pembesar Arab iri kepadanya.
Wahai Muhammad, selayaknya kuceritakan juga kejelekan-kejelekannya. Ia pernah
bersuami dua kali dan telah menjalani hidup bersamanya bertahun-tahun.”
“Siapakah namanya?”
“Budakmu, Khadijah!”
“Oh, Tuhanku! Ia telah bercerita tentang dirinya. Jika kuangkat
kepalaku, apa yang dapat kukatakan?”
“Mengapa engkau tidak menjawabku? Demi Allah, aku sangat
mencintaimu dan tidak akan pernah menentangmu dalam setiap keadaan.”
Diamnya Muhammad yang disertai dengan kewibawaan dan kesopanan itu
membuat air mata Khadijah menetes, dan ia melantunkan beberapa bait syair
secara spontan. “Hatiku telah tertambat kepadamu. Di dalam taman hatiku
terdapat kecintaanmu. Jika engkau tidak menerima tawaranku, ruhku akan terbang
dari ragaku.”
“Mengapa engkau tidak menjawabku? Kerelaanmu adalah kerelaanku dan
aku selalu menaatimu.”
“Mengapa engkau berkata demikian? Engkau adalah ratu Arab dan aku
seorang pemuda miskin.”
“Orang yang rela mengorbankan jiwanya untukmu,
apakah ia mau mempertahankan hartanya? Wahai putra kepercayaan Makkah, wahai
pondasi wujud dan seluruh harapanku, aku akan menutupi kepapaanmu. Seluruh
wujud dan modal material dan sosialku ‘kan kukorbankan untukmu. Wahai matahari
Makkah yang benderang, memancarlah dari jendela harapanku dan wujudkanlah
harapan pamanmu yang sudah tua yang selalu mengharapkan engkau bersanding
dengan seorang wanita. Jangan kau cela aku. Berikanlah hak kepadaku jika aku
tergila-gila kepadamu. Zulaikha pernah melihat Yusuf dan ia menjadi
tergila-gila, dan para wanita Mesir terpesona oleh ketampanannya. Engkau
sangatlah agung. Jangan kau membuatku putus-asa. Demi Ka’bah dan bukit Shafâ,
jangan kau usir aku dari dirimu. Bangun dan pergilah menemui paman-pamanmu,
serta utuslah mereka untuk meminangku. Engkau akan mendapatiku sebagai wanita
yang tegar dan setia.”
Dialog Muhammad al-Amin dengan Paman dan
Keluarganya
Rasulullah saw keluar dari rumah Khadijah dan pergi menemui
pamannya. Kegembiraan dan kebahagiaan tampak terlukis di wajahnya. Ia melihat
paman-pamannya sedang berkumpul. Abu Thalib memandang wajah Rasulullah seraya
berkata, “Keponanaku, aku ucapkan selamat atas hadiah yang telah kau terima
dari Khadijah. Kukira ia telah mencurahkan seluruh hadiah atasmu.”
Rasulullah berkata perlahan, “Paman, aku ingin sesuatu dari Anda.”
Dengan tidak sabar Abu Thalib bertanya, “Permintaan apa? Katakanlah
sehingga kulaksanakan secepatnya.”
“Paman, berangkatlah sekarang juga bersama paman-paman yang lain
dan pergilah menemui Khuwailid untuk meminang putrinya, Khadijah untukku,”
jawabnya.
Tidak satu pun dari paman-pamannya yang mengabulkan permintaannya
kecuali Abu Thalib. Ia berkata, “Buah hatiku, sebenarnya kami yang harus
belajar darimu dan bermusyawarah denganmu dalam masalah seperti ini. Engkau
sendiri mengetahui bahwa Khadijah adalah seorang wanita yang sempurna,
berkepribadian dan menjaga diri dari segala cela dan aib. Seluruh raja Arab,
para pembesar Quraisy, para pembesar Bani Hasyim, raja-raja Yaman dan para
pembesar Thaif telah meminangnya dan mereka bersedia mengorbankan harta
berlimpah dalam hal ini, akan tetapi ia tidak menanggapi mereka semua dan
melihat dirinya lebih tinggi dan lebih berkepribadian dari mereka. Anakku,
engkau adalah seorang yang miskin dan tidak memiliki harta kekayaan. Khadijah
adalah seorang wanita yang senang bergurau. Kukira ia ingin bergurau denganmu.
Jangan kau anggap serius gurauan-gurauannya ini. Janganlah kau sebarkan berita
ini, karena semua itu akan sampai ke telinga semua orang Quraisy.”
Abu Lahab berkata, “Keponakanku, jangan kau jadikan keluarga kami
sebagai buah bibir seluruh penduduk Arab. Engkau tidak layak untuk seorang
Khadijah.”
Abbas beranjak dari tempatnya dan menjawab perkataan Abu Lahab itu
dengan lantang. Ia berkata, “Engkau adalah seorang yang hina dan berperilaku
buruk. Cela apakah yang dapat mereka temukan berkenaan dengan keponakanku? Ia
memiliki ketampanan yang memikat dan kesempurnaan yang tak terbatas. Bagaimana
mungkin Khadijah menganggap dirinya lebih tinggi darinya? Dengan perantara
harta, kecantikan, atau kesempurnaannya? Demi Tuhan Ka’bah, jika ia meminta
mahar darinya, maka akan kutunggangi kudaku untuk berkeliling di padang sahara
dan memasuki kerajaan para raja untuk menyediakan apa yang diminta oleh
Khadijah itu.”
Rasulullah berkata, “Paman-pamanku, sudah terlalu lama kalian
berdebat dengan masalah yang tidak ada gunanya. Kalian tidak perlu ikut campur
dalam hal ini. Kalian tidak mengetahui apa yang kuketahui.”
Shafiah binti Abdul Muthalib, bibi Rasulullah beranjak dari
tempatnya seraya berkata, “Demi Allah, aku tahu bahwa setiap yang dikatakan
oleh keponakanku ini adalah benar. Ia adalah seorang yang jujur. Mungkin saja
Khadijah hanya ingin bergurau dengannya. Aku akan pergi untuk meneliti terlebih
dahulu.”
Ia mengenakan pakaiannya yang mewah dan pergi ke rumah Khadijah.
Sebagian sahaya Khadijah melihat Shafiah menuju ke rumahnya. Mereka mengabarkan
hal itu secepatnya.
Dialog
Khadijah dengan Shafiah binti Abdul Muthalib bibi Muhammad al-Amin
Pada waktu itu, Khadijah sudah beranjak untuk tidur. Ia turun dari
rumah bagian atas ke bagian bawah dan memberikan izin kepada semua sahayanya
untuk beristirahat. Akan tetapi, setelah mengetahui Shafiah hendak datang, ia
bersiap-siap untuk menjamunya. Dan karena terburu-buru, bagian bawah bajunya
terinjak oleh kakinya. Pada waktu itu, Shafiah masih berada di luar rumah. Ia
mendengar ketika Khadijah berseru, “Tidak berbahagialah orang yang memusuhimu,
wahai Muhammad!” Shafiah berkata kepada dirinya, “Sudah jelas bahwa ini
bukanlah sebuah pegurauan.”
Ia mengetuk pintu rumah Khadijah. Para sahaya mengantarkannya
bertemu Khadijah dan menjamunya dengan penuh kehormatan. Khadijah ingin
mengambilkan makanan untuktnya. Akan tetapi, ia berkata, “Aku tidak datang
untuk sebuah makanan. Aku datang untuk meneliti.”
Khadijah yang memahami maksudnya dengan isyarat tersebut berkata,
“Hal itu benar. Jika kau mau, sebarkan hal ini atau rahasiakan saja dulu. Aku
telah meminang Muhammad untuk diriku dan menerima mahar yang diusulkannya.
Jangan sampai kalian membohongkannya. Aku tahu bahwa Tuhan semesta alam telah
membenarkannya.”
Shafiah tersenyum merekah seraya berkata, “Aku memahami jika engkau
memiliki rasa cinta demikian. Aku sendiri belum pernah melihat wajah bercahaya
seperti wajah Muhammad, belum pernah mendengar ucapan yang lebih menarik dari
ucapannya, dan belum pernah melihat gaya bicara yang lebih mulia dari gaya
bicaranya.”
Shafiah ingin keluar dari rumah Khadijah, tapi Khadijah tidak
mengizinkannya seraya berkata, “Sabar dulu sebentar.” Ia lalu beranjak dan
mengambil secarik kain yang sangat berharga. Ia memberikannya kepada Shafiah
sebagai hadiah, lalu memeluknya seraya memohon sesuatu. Ia berkata, “Demi
Allah, tolonglah aku sehingga aku dapat menjadi istri Muhammad.” Shafiah
berjanji untuk membantunya sekuat tenaga. Lalu, ia bergegas pergi ke rumah
saudara-saudaranya.
Dialog Khadijah dengan Waraqah
Setelah shafiah binti Abdul Muthalib
dari rumah Khadijah dan mengabarkan tentang kebenaran atas diberitakan oleh
Muhammad Al-Amin kepada paman-pamanya.
Mereka semua bergembira atas kebenaran berita tersembut kecuali Abu
Lahab.
Paman-paman
rasulullah mulai bergegas pergi ke rumah Khuwailid untuk meminang Khadijah, namun hasilnya nihil. Karena
khuwailid tidak sepakat putrinya menikah dengan Muhammad al-Amin pemuda yang
miskin. Ketika Khajidah mendengar kejadian yang telah terjadi, ia mengaduh pada
Waraqah dan berdialog panjang. Waraqah melihat
Khadijah dalam kesedihan yang dalam. Ia berkata, “Keponakankku, apa yang sedang
terjadi? Mengapa engkau bersedih hati?”
“Mengapa aku tidak boleh sedih setelah semua harapanku terbang
dibawa angin?” jawabnya.
“Selama ini aku belum pernah mendengar engkau berbicara demikian.
Mungkin maksudmu adalah pernikahan?” tanyanya lagi.
“Ya”, jawabnya singkat.
“Pernikahan ‘kan buan suatu masalah yang penting. Para pembesar
Arab telah meminangmu dan kamu pun menolak mereka”, jawabnya.
“Aku tidak ingin keluar dari Makkah”, katanya lagi.
“Tidak sedikit para peminangnmu yang berdomisili di Makkah, seperti
Syaibah bin Rabi’ah, ‘Uqbah bin Mu’ith, Abu Jahal bin Hisyam, dan Shalt bin Abi
Yahab. Tidak satu pun dari mereka yang kau terima”, kata Waraqah lagi.
“Aku tidak ingin suamiku memiliki cela”, jawab Khadijah.
“Mereka ini memiliki cela apa?”, tanya Waraqah.
“Syaibah adalah seseorang yang selalu berburuk sangka dan jelek
hati, ‘Uqbah sudah tua renta, dan Abu Jahal adalah seorang yang kikir, sombong,
dan selalu mengumpat. Adapun Shalt, ia tidak dapat memelihara wanita. Pamanku,
apakah engkau mendengar berita bahwa ada orang lain selain mereka telah
meminangku?”, kata Khadijah.
“Ya, aku mendengar berita itu. Muhammad bin Abdullah telah
meminangmu”, jawab Waraqah.
“Apakah engkau melihat cela pada dirinya?”, tanyanya lagi.
Waraqah bin Naufal mengetahui banyak tentang kitab-kitab samawi.
Ketika ia mendengar pertanyaan Khadijah itu, ia menundukkan kepala seraya
berkata, “Apakah engkau ingin kuceritakan cela-celanya?”, tanyanya.
“Ya!”, jawab Khadijah.
Ia berkata, “Ia memiliki ras yang mulia dan keturunan yang
berkepribadian. Ia memiliki wajah yang menarik, akhlak yang indah, keutamaan
yang telah diketahui oleh khalayak, dan kemurahan hati yang sangat besar. Demi
Allah, Khadijah, ini adalah sebuah kenyataan.”
Khadijah bertanya, “Sepertinya aku minta supaya engkau menceritakan
cela-celanya!”
Waraqah berkata, “Khadijah, dahinya bercahaya bak
bintang-gumintang, kedua matanya seperti permata yang bergemilau, dan bahasanya
lebih manis dari madu yang murni. Ketika sedang berjalan, ia memancar seperti
rembulan yang cemerlang.”
Khadijah berkata, “Pamanku, jangan bergurau. Tolong ceritakan cela
dan aibnya.”
Waraqah berkata, “Semua wujudnya adalah keindahan, keturunannya
bebas dari segala aib kekotoran, dan ia lebih tampan dari seluruh penduduk
semesta alam. Ia memiliki hati yang penyayang. Rambutnya lembut dan terurai. Ia
memiliki bau badan yang lebih harum dari minyak misik dan gaya bicara yang
lebih manis dari madu. Khadijah, aku mengambil Allah sebagai saksiku, aku
sangat mencintainya.”
Khadijah berkata, “Pamanku, setiap aku memintamu menceritakan cela
dan aibnya, engkau selalu menceritakan karakter -karakter baiknya!”
Waraqah, “Anakku, dapatkah aku menceritakan karakternya untukmu?”
Khadijah berkata, “Pamanku, kebanyakan orang membuat-buatkan cela
baginya dan mereka mengatakan bahwa ia adalah seorang yang miskin. Jika ia
miskin, kekayaanku sangat banyak. Bagaimana pun, aku sangat mencintanya dan aku
pun telah meminangnya.”
Waraqah berkata, “Apa yang akan kau berikan padaku jika malam ini
aku menikahkanmu dengannya?”
Khadijah berkata, “Apakah selama ini aku mempersulit urusan terhadapmu?
Kuserahkan semua kekayaanku padamu. Pilihlah apa yang kau sukai.”
Waraqah berkata, “Khadijah, aku tidak menginginkan perhiasan dunia.
Masa depan memiliki perhitungan dan terdapat kitab amal dan siksa. Keselamatan
akan dimiliki oleh orang yang mengikuti Muhammad dan membenarkan risalahnya.
Celakalah orang yang menyimpang dari jalan surga dan memilih jalan menuju
neraka.”
Khadijah berkata, “Apa yang kau inginkan akan kuberikan padamu.”
Menurut versi sejarah ini, Waraqah pergi menemui Khuwailid untuk mengingatkannya
agar tidak menolak Bani Hasyim dan mengkritik tindakannya yang tidak baik.
Khuwailid beralasan, “Muhammad tidak memiliki kekayaan, dan kukira Khadijah
tidak akan mau.”
Waraqah menjawab kedua alasan Khuwailid itu dan mengajaknya untuk
pergi bersama ke rumah Abu Thalib demi menebus kesalahannya selama ini dan
mengambil hati Bani Hasyim kembali. Akhirnya, Khuwailid menyerahkan seluruh
urusan putrinya kepada Warqah bin Naufal di rumah Abu Thalib dan mengumumkan
bahwa ia adalah wakilnya dalam semua urusan Khadijah.
Pernikahan
Rasulullah dengan Khadijah
Hamzah, paman nabi tidak puas dengan perwakilan ini dan menetapkan
agar perwakilan itu dinyatakan di depan kaum Quraisy. Kemudian mereka
bersama-sama datang ke Ka’bah dimana sekelompok orang sudah berkumpul disana
seperti Shalat bin Abi Wahab, Hisyam bin Mughirah, Abu Jahal bin Hisyam,Uqbah
bin abi Mu’ith, Umayah bin Khalaf dan Abu Sufyan. Di hadapan mereka, Khuwailid
juga mengakui perwakilan itu dan memutuskan bahwa esok harinya akan
melangsungkan pertunangan resmi.
Imam Shadiq as bersabda: ”Ketika Rasulullah saw ingin menikahi
Khadijah, Abu Thalib bersama rombongan Quraisy datang menemui paman Khadijah,
Waraqoh bin Naufal. Pertama, Abu Thalib yang mulai berbicara dan berkata: ”Puji
syukur kepada Tuhan seluruh alam pemilik rumah ini yang telah menjadikan kami
dari golongan Ibrahim al-Khalil dan Ismail serta penghuni rumah-Nya yang penuh
keamanan. Dia menjadikan kami sebagai hakim masyarakat dan mencurahkan
nikmat-Nya dari tanah suci ini kepada kami. Inilah keponakanku, Muhammad bin
Abdillah, orang termulia di kalangan Quraisy dan tidak satupun yang sepadan dan
serupa dengannya. Sekalipun ia miskin dan tidak punya harta (tapi harta dan
kekayaan adalah teman pengkhianat dan cepat pergi). Ia sangat mencintai
Khadijah dan ia juga mencintainya. Kami datang untuk meminangnya. Berapa saja
maskawin yang ia relakan kami akan memenuhinya, baik kontan maupun tidak. Ya
Allah, saya bersaksi bahwa keponakannku adalah sosok agung dan memiliki masa
depan yang jernih, agama serta keyakinan yang suci.”
Abu Thalib mengakhiri pembicarannya dan berakhir pula pertunangan
dari pihak lelaki. Paman Khadijah, Waraqoh juga ingin berbicara, namun mulutnya
terasa berat dan tidak bisa menyampaikan apa yang seharusnya disampaikan.
Disaat inilah Khadijah berbicara: Paman, sekalipun engkau pemegang semua
urusanku dan saksi kehidupanku namun kali ini aku yang labih berhak maju, lalu
ia mengucapkan akad nikah sendiri sebagai berikut:
”Muhammad yang mulia, aku nikahkan diriku untukmu dan maskawin
serta biaya perkawinan ini aku ambil dari kakayaanku. Katakanlah kepada pamanmu
untuk menyembelih unta, menyiapkan resepsi perkawinan dan masuklah ke rumah
istrimu kapan saja engkau mau.”
Abu Thalib memanfaatkan kesempatan yang ada dan berkata: ”Jadilah
kalian saksi bahwa Khadijah telah menerima maskawin yang diambil dari
hartannya.” Sebagian orang Ouraisy yang hadir di situ, karena merasa iri,
dengan suara mengejek berteriak; ”Aneh sekali! Dulu kaum lelaki yang memberi
maskawin, tapi sekarang kami lihat orang perempuan yang justru menyerahkan
maskawin kepada calon suaminya.” Abu Thalib merasa terpukul dan marah dengan
ucapan ini (dia adalah lelaki kharismatik dimana orang ketakutan sewaktu marah)
lalu berkata: ”Jika mempelai lelaki seperti keponakanku maka tidak menjadi
masalahperempuan yang memberi maskawin yang mahal, akan tetapi jika yang
menikah seperti kamu maka memang selayaknya kamu menanggung maskawin yang
besar.”
Akhirnya, Abu Thalib menyembelih unta dan mengadakan walimah serta
menikahkan Nabi saw dengan Khadijah.

Post a Comment for "Sirah Nabawi : Kisah Pernikahan Rasulullah SAW Dengan Khajidah binti Khuwailid"