Tap This All You Need Here by Affiliated Shopee

Sirah Nabawi : Kisah Pernikahan Rasulullah SAW Dengan Khajidah binti Khuwailid

      Pada suatu malam khadijah bermimpi melihat matahari berputar-putar diatas Makkah, kemudian turun ke bawah di dalam rumahnya. Khajidah mimpinyanya tersebut diceritakan kepada Waraqah bin Naufal untuk menyikap takbir mimpinya. Waraqah menyampaikan bahwa khajidah akan menikah dengan orang agung yang ketenarannya akan mendominasi jagad raya.
       Dalam perbincangan tersebut waraqah melihat kegundahan dalam wajah khadjiah yang sebelumnya belum Waraqh lihatnya. Khajidah lantas tidak sekedar terpesona oleh ketampanan Muhammad al – Amin namun ia juga mendengar dan melihat bahwa jagad raya ini tentram karena keberadaannya.
   Dalam hati Khajidah selalu terbayang oleh Muhammad Al-Amin. Selalu perupaya untuk mendekatkan dirinya kepada putra Abu Thalib yang yatim itu dan ia telah terbakar api cinta kepada putra Aminah tersebut. Tatkala siang Khijadah selalu gundah dan malam hari ia tertidur pulas dalam harapa untuk menyatu dengannya.


Persiapan Pernikahan
            Awal pertemuan secara langsung Khajidah dengan Muhammad adalah saat, Khajidah sedang mencari seorang yang dapat dipercaya untuk diserahkan tanggungjawab mengurus dagangannya dan membawanya ke negeri Syam. Pada saat itu Abu Thalib menawari pekerjaan tersebut kepada Muhammad yang sekaligus keponakannya. Maka terjadilah dialog antara Muhammada dengan Abu Thalib, yang kemudian seorang utusan khadijah untuk memanggil Muhammad. Saat pertemuan pertama Khajidah yang dari awal tertarik dengan kejujuran dan akhlak Muhammad menawarkan upah dua kali lipat yang dia berikan kepada orang lain.
            Muhammad menceritakan kejadian tersebut kepada pamannya. Tanggapan sang paman adalah itu merupakan jalan yang sudah ditetapkan oleh Allah sebagai rezki dan Anugrah kepada keponakannya Muhammad.
            Rombongan pedagang Quraisy telah siap berangkat, begitu pula Muhammad bersama dua budak suruan Khadijah untuk membantunya. Sempainya pada tempat tujuan, barang dagangan Muhammad laris terjual semuanya. Mereka sebelum pulang membeli barang-barang yang diperlukan di daerah asal mereka di pasar Tuhamah. Di bawah kepemimpinan Muhamamad, rombongan dagang Khadijah memperoleh laba yang meilmpah.
            Khadijah pun ingin mengerti cerita yang mengesankan selama perjalanan rombongan dagang itu dari Maisarah budaknya yang bersamai Muhammad al-Amin. Maisarah menceritakan dua kenangan yang mengesankan kepadanya: Pertama, Muhammad al-Amin ketika perselisih pendapat dengan pedagang lain yanng beliau diminta untuk bersumpah dengan atas nama  Lata dan Uzza. Muhammad al-Amin menjawab dengan perkataan “Makhluk paling hina dan palimg kubenci adalah Lata dan Uza yang kau semabh itu”. Kedua, di Bushra bertemu dengan seorang Rahib yang melihat Muhammad al-Amin duduk di bawah sebuah pohon untuk istirahat, kemudian menghampiri dan menanyakan namanya. Mendengar nama Muhammad al-Amin, ia berkata “Orang ini adalah nabi yang telah banyak kubaca kabar gembira berkenaan dengannya.”
            Api cinta Khajidah semakin berkobar, mendengar kisah-kisah yang mengesankan dan pengenalanya yang telah lama terhadap pemuda istimewa Makkah itu. Khajidah selain memberikan upah sesuai dengan kontrak dagang, juga memberikan hadiah sehingga Muhammad dapat memperbaiki kondisi hidupnya. Muhammad al-Amin memberikan kepada pamanya, semua yang diterimanya dari Khajidah.

Tata Cara Meminang
            Khajidah menceritakan segala yang diketahuinya tentang Muhammad al-Amin kepada Waraqah bin Naufal sebagai orang pintar dari Arab yang telah mengenal Muhammad sebelum Khajidah mengenalnya, dan membenarkan semua ceritanya.
Pembenaran itu semakin Khajidah menaruh hati kepada nabi yang dijanjikan itu.          Khajidah telah banyak menolak semua yang meminangnya termasuk para pembesar Arab seperti Uqbah bin Mu’ith, Abu Jahal, dan Abu Sufyan.
Dari kesaksian para ahli sejarah dan penulis biografi, jika Khadijah berkata kepada Muhammad, “Putra pamanku, dengan pengenalanku terhadap dirimu, aku sangat berharap dapat menikah dengan mu”
Muhammad al-Amin itu pun menjawab, “Seyogianya aku mengutarakan masalah ini kepada paman-pamanku sehingga aku dapat mengambil keputusan atas dasar musyawarah dengan mereka.”
Sebagian ahli sejarah juga menulis, seorang wanita bernama Nafisah binti Aliyah, salah seorang sahabat Khadijah menyampaikan pesannya kepada Muhammad dengan berkata, “Mengapa di malam hari engkau tidak menyinari kehidupanmu dengan seorang istri? Jika aku mengajakmu kepada keindahan, kekayaan, dan kemuliaan, maukah kau menerimanya?”
Muhammad bertanya, “Siapakah maksudmu?”
“Khadijah”, jawabnya.
“Apakah ia rela dengan kondisi hidupku ini?”
“Ya. Tentukanlah harinya sehingga wakilnya dan seluruh kerabatmu duduk bersama untuk membicarakan pesta pernikahan.”
Perekrutan Muhammad al-Amin dalam rombongan dagang hanya suatu alasan Khajidah untuk mewujudkan keinginanya mengungkapkan kecintaannya yang membara dan keinginannya kepada kekasihnya tanpa perantara. Ia pernah berkata kepada Muhammad. “Engkau telah menguasai seluruh pikiranku. Aku mencintaimu seperti yang dikehendaki oleh Tuhanmu dan sesuai dengan keinginanmu.”
Dari perjalanan itu mimpi Khadijah yang ingin menjadi istri Muhammad al-Amin akan segera terwujud. Berkata Khadijah kepada dirinya, “Ya Tuhan, apakah takdir menentukan demikian bahwa aku adalah wanita pertama yang dicintai oelh Al-Amin, Muhammad yang orang lain harus tersiksa dan terkatung-katung demi menjalin hubungan dengannya?”
Khajidah r.a diminta pendapat. Dengan jujur ia berkata kepada Waraqah: “Hai anak bapa saudaraku, betapa aku akan menolak Muhammad SAW padahal ia sangat amanah, memiliki keperibadian yang luhur, kemuliaan dan keturunan bangsawan, lagi pula pertalian kekeluargaannya luas”.
“Benar katamu, Khadijah, hanya saja ia tak berharta”, ujar Waraqah.
“Kalau ia tak berharta, maka aku cukup berharta. Aku tak memerlukan harta lelaki. Kuwakilkan kepadamu untuk menikahkan aku dengannya,” demikian Khajidah menyerahkan urusannya.

Dialog Khadijah dengan Muhammad al-Amin
            Setelah Muhammad al-Amin bermusyawarah dengan Abu Thalib pamanya, ia pergi ke rumah Khadijah untuk mengambil upah dan hadiah yang akan diberikan kepadanya. Muhammad al-Amin mendapatkan penghormatan khusus dari  Khajidah dan melantunkan beberapa syair untuknya.
            “Apakah engkau memiliki keperluan yang dapat kulakukan?”
Putra Aminah tidak mengucapkan sepatah kata pun karena rasa malunya yang tinggi.
“Apakah aku dapat bertanya sesuatu kepadamu?”
“Silakan.”
“Apakah yang akan kau lakukan dengan upah perdagangan itu?”
“Apa maksudmu?”
“Aku ingin tahu apakah aku dapat melakuan sesuatu untukmu?”
“Pamanku, Abu Thalib menginginkan aku menikah dengan modal tersebut.”
Dengan senyuman yang bercampur dengan kebahagiaan Khadijah berkata, “Apakah kamu setuju jika aku merealisasikan keinginan pamanmu itu? Aku kenal seorang wanita yang—dari segi kesempurnaan dan kecantikan—sangat sesuai denganmu; seorang wanita yang baik, suci, dan berpengalaman. Sudah banyak orang yang ingin menjalin hubungan dengannya dan wanita-wanita pembesar Arab iri kepadanya. Wahai Muhammad, selayaknya kuceritakan juga kejelekan-kejelekannya. Ia pernah bersuami dua kali dan telah menjalani hidup bersamanya bertahun-tahun.”
“Siapakah namanya?”
“Budakmu, Khadijah!”
“Oh, Tuhanku! Ia telah bercerita tentang dirinya. Jika kuangkat kepalaku, apa yang dapat kukatakan?”
“Mengapa engkau tidak menjawabku? Demi Allah, aku sangat mencintaimu dan tidak akan pernah menentangmu dalam setiap keadaan.”
Diamnya Muhammad yang disertai dengan kewibawaan dan kesopanan itu membuat air mata Khadijah menetes, dan ia melantunkan beberapa bait syair secara spontan. “Hatiku telah tertambat kepadamu. Di dalam taman hatiku terdapat kecintaanmu. Jika engkau tidak menerima tawaranku, ruhku akan terbang dari ragaku.”
“Mengapa engkau tidak menjawabku? Kerelaanmu adalah kerelaanku dan aku selalu menaatimu.”
“Mengapa engkau berkata demikian? Engkau adalah ratu Arab dan aku seorang pemuda miskin.”
“Orang yang rela mengorbankan jiwanya untukmu, apakah ia mau mempertahankan hartanya? Wahai putra kepercayaan Makkah, wahai pondasi wujud dan seluruh harapanku, aku akan menutupi kepapaanmu. Seluruh wujud dan modal material dan sosialku ‘kan kukorbankan untukmu. Wahai matahari Makkah yang benderang, memancarlah dari jendela harapanku dan wujudkanlah harapan pamanmu yang sudah tua yang selalu mengharapkan engkau bersanding dengan seorang wanita. Jangan kau cela aku. Berikanlah hak kepadaku jika aku tergila-gila kepadamu. Zulaikha pernah melihat Yusuf dan ia menjadi tergila-gila, dan para wanita Mesir terpesona oleh ketampanannya. Engkau sangatlah agung. Jangan kau membuatku putus-asa. Demi Ka’bah dan bukit Shafâ, jangan kau usir aku dari dirimu. Bangun dan pergilah menemui paman-pamanmu, serta utuslah mereka untuk meminangku. Engkau akan mendapatiku sebagai wanita yang tegar dan setia.”

Dialog Muhammad al-Amin dengan Paman dan Keluarganya
           Rasulullah saw keluar dari rumah Khadijah dan pergi menemui pamannya. Kegembiraan dan kebahagiaan tampak terlukis di wajahnya. Ia melihat paman-pamannya sedang berkumpul. Abu Thalib memandang wajah Rasulullah seraya berkata, “Keponanaku, aku ucapkan selamat atas hadiah yang telah kau terima dari Khadijah. Kukira ia telah mencurahkan seluruh hadiah atasmu.”
Rasulullah berkata perlahan, “Paman, aku ingin sesuatu dari Anda.”
Dengan tidak sabar Abu Thalib bertanya, “Permintaan apa? Katakanlah sehingga kulaksanakan secepatnya.”
“Paman, berangkatlah sekarang juga bersama paman-paman yang lain dan pergilah menemui Khuwailid untuk meminang putrinya, Khadijah untukku,” jawabnya.
Tidak satu pun dari paman-pamannya yang mengabulkan permintaannya kecuali Abu Thalib. Ia berkata, “Buah hatiku, sebenarnya kami yang harus belajar darimu dan bermusyawarah denganmu dalam masalah seperti ini. Engkau sendiri mengetahui bahwa Khadijah adalah seorang wanita yang sempurna, berkepribadian dan menjaga diri dari segala cela dan aib. Seluruh raja Arab, para pembesar Quraisy, para pembesar Bani Hasyim, raja-raja Yaman dan para pembesar Thaif telah meminangnya dan mereka bersedia mengorbankan harta berlimpah dalam hal ini, akan tetapi ia tidak menanggapi mereka semua dan melihat dirinya lebih tinggi dan lebih berkepribadian dari mereka. Anakku, engkau adalah seorang yang miskin dan tidak memiliki harta kekayaan. Khadijah adalah seorang wanita yang senang bergurau. Kukira ia ingin bergurau denganmu. Jangan kau anggap serius gurauan-gurauannya ini. Janganlah kau sebarkan berita ini, karena semua itu akan sampai ke telinga semua orang Quraisy.”
Abu Lahab berkata, “Keponakanku, jangan kau jadikan keluarga kami sebagai buah bibir seluruh penduduk Arab. Engkau tidak layak untuk seorang Khadijah.”
Abbas beranjak dari tempatnya dan menjawab perkataan Abu Lahab itu dengan lantang. Ia berkata, “Engkau adalah seorang yang hina dan berperilaku buruk. Cela apakah yang dapat mereka temukan berkenaan dengan keponakanku? Ia memiliki ketampanan yang memikat dan kesempurnaan yang tak terbatas. Bagaimana mungkin Khadijah menganggap dirinya lebih tinggi darinya? Dengan perantara harta, kecantikan, atau kesempurnaannya? Demi Tuhan Ka’bah, jika ia meminta mahar darinya, maka akan kutunggangi kudaku untuk berkeliling di padang sahara dan memasuki kerajaan para raja untuk menyediakan apa yang diminta oleh Khadijah itu.”
Rasulullah berkata, “Paman-pamanku, sudah terlalu lama kalian berdebat dengan masalah yang tidak ada gunanya. Kalian tidak perlu ikut campur dalam hal ini. Kalian tidak mengetahui apa yang kuketahui.”
Shafiah binti Abdul Muthalib, bibi Rasulullah beranjak dari tempatnya seraya berkata, “Demi Allah, aku tahu bahwa setiap yang dikatakan oleh keponakanku ini adalah benar. Ia adalah seorang yang jujur. Mungkin saja Khadijah hanya ingin bergurau dengannya. Aku akan pergi untuk meneliti terlebih dahulu.”
Ia mengenakan pakaiannya yang mewah dan pergi ke rumah Khadijah. Sebagian sahaya Khadijah melihat Shafiah menuju ke rumahnya. Mereka mengabarkan hal itu secepatnya.
Dialog Khadijah dengan Shafiah binti Abdul Muthalib bibi Muhammad al-Amin
            Pada waktu itu, Khadijah sudah beranjak untuk tidur. Ia turun dari rumah bagian atas ke bagian bawah dan memberikan izin kepada semua sahayanya untuk beristirahat. Akan tetapi, setelah mengetahui Shafiah hendak datang, ia bersiap-siap untuk menjamunya. Dan karena terburu-buru, bagian bawah bajunya terinjak oleh kakinya. Pada waktu itu, Shafiah masih berada di luar rumah. Ia mendengar ketika Khadijah berseru, “Tidak berbahagialah orang yang memusuhimu, wahai Muhammad!” Shafiah berkata kepada dirinya, “Sudah jelas bahwa ini bukanlah sebuah pegurauan.”
Ia mengetuk pintu rumah Khadijah. Para sahaya mengantarkannya bertemu Khadijah dan menjamunya dengan penuh kehormatan. Khadijah ingin mengambilkan makanan untuktnya. Akan tetapi, ia berkata, “Aku tidak datang untuk sebuah makanan. Aku datang untuk meneliti.”
Khadijah yang memahami maksudnya dengan isyarat tersebut berkata, “Hal itu benar. Jika kau mau, sebarkan hal ini atau rahasiakan saja dulu. Aku telah meminang Muhammad untuk diriku dan menerima mahar yang diusulkannya. Jangan sampai kalian membohongkannya. Aku tahu bahwa Tuhan semesta alam telah membenarkannya.”
Shafiah tersenyum merekah seraya berkata, “Aku memahami jika engkau memiliki rasa cinta demikian. Aku sendiri belum pernah melihat wajah bercahaya seperti wajah Muhammad, belum pernah mendengar ucapan yang lebih menarik dari ucapannya, dan belum pernah melihat gaya bicara yang lebih mulia dari gaya bicaranya.”
Shafiah ingin keluar dari rumah Khadijah, tapi Khadijah tidak mengizinkannya seraya berkata, “Sabar dulu sebentar.” Ia lalu beranjak dan mengambil secarik kain yang sangat berharga. Ia memberikannya kepada Shafiah sebagai hadiah, lalu memeluknya seraya memohon sesuatu. Ia berkata, “Demi Allah, tolonglah aku sehingga aku dapat menjadi istri Muhammad.” Shafiah berjanji untuk membantunya sekuat tenaga. Lalu, ia bergegas pergi ke rumah saudara-saudaranya.

Dialog Khadijah dengan Waraqah
            Setelah shafiah binti Abdul Muthalib dari rumah Khadijah dan mengabarkan tentang kebenaran atas diberitakan oleh Muhammad Al-Amin kepada paman-pamanya.  Mereka semua bergembira atas kebenaran berita tersembut kecuali Abu Lahab.
            Paman-paman rasulullah mulai bergegas pergi ke rumah Khuwailid untuk meminang  Khadijah, namun hasilnya nihil. Karena khuwailid tidak sepakat putrinya menikah dengan Muhammad al-Amin pemuda yang miskin. Ketika Khajidah mendengar kejadian yang telah terjadi, ia mengaduh pada Waraqah dan berdialog panjang. Waraqah melihat Khadijah dalam kesedihan yang dalam. Ia berkata, “Keponakankku, apa yang sedang terjadi? Mengapa engkau bersedih hati?”
“Mengapa aku tidak boleh sedih setelah semua harapanku terbang dibawa angin?” jawabnya.
“Selama ini aku belum pernah mendengar engkau berbicara demikian. Mungkin maksudmu adalah pernikahan?” tanyanya lagi.
“Ya”, jawabnya singkat.
“Pernikahan ‘kan buan suatu masalah yang penting. Para pembesar Arab telah meminangmu dan kamu pun menolak mereka”, jawabnya.
“Aku tidak ingin keluar dari Makkah”, katanya lagi.
“Tidak sedikit para peminangnmu yang berdomisili di Makkah, seperti Syaibah bin Rabi’ah, ‘Uqbah bin Mu’ith, Abu Jahal bin Hisyam, dan Shalt bin Abi Yahab. Tidak satu pun dari mereka yang kau terima”, kata Waraqah lagi.
“Aku tidak ingin suamiku memiliki cela”, jawab Khadijah.
“Mereka ini memiliki cela apa?”, tanya Waraqah.
“Syaibah adalah seseorang yang selalu berburuk sangka dan jelek hati, ‘Uqbah sudah tua renta, dan Abu Jahal adalah seorang yang kikir, sombong, dan selalu mengumpat. Adapun Shalt, ia tidak dapat memelihara wanita. Pamanku, apakah engkau mendengar berita bahwa ada orang lain selain mereka telah meminangku?”, kata Khadijah.
“Ya, aku mendengar berita itu. Muhammad bin Abdullah telah meminangmu”, jawab Waraqah.
“Apakah engkau melihat cela pada dirinya?”, tanyanya lagi.
Waraqah bin Naufal mengetahui banyak tentang kitab-kitab samawi. Ketika ia mendengar pertanyaan Khadijah itu, ia menundukkan kepala seraya berkata, “Apakah engkau ingin kuceritakan cela-celanya?”, tanyanya.
“Ya!”, jawab Khadijah.
Ia berkata, “Ia memiliki ras yang mulia dan keturunan yang berkepribadian. Ia memiliki wajah yang menarik, akhlak yang indah, keutamaan yang telah diketahui oleh khalayak, dan kemurahan hati yang sangat besar. Demi Allah, Khadijah, ini adalah sebuah kenyataan.”
Khadijah bertanya, “Sepertinya aku minta supaya engkau menceritakan cela-celanya!”
Waraqah berkata, “Khadijah, dahinya bercahaya bak bintang-gumintang, kedua matanya seperti permata yang bergemilau, dan bahasanya lebih manis dari madu yang murni. Ketika sedang berjalan, ia memancar seperti rembulan yang cemerlang.”
Khadijah berkata, “Pamanku, jangan bergurau. Tolong ceritakan cela dan aibnya.”
Waraqah berkata, “Semua wujudnya adalah keindahan, keturunannya bebas dari segala aib kekotoran, dan ia lebih tampan dari seluruh penduduk semesta alam. Ia memiliki hati yang penyayang. Rambutnya lembut dan terurai. Ia memiliki bau badan yang lebih harum dari minyak misik dan gaya bicara yang lebih manis dari madu. Khadijah, aku mengambil Allah sebagai saksiku, aku sangat mencintainya.”
Khadijah berkata, “Pamanku, setiap aku memintamu menceritakan cela dan aibnya, engkau selalu menceritakan karakter -karakter baiknya!”
Waraqah, “Anakku, dapatkah aku menceritakan karakternya untukmu?”
Khadijah berkata, “Pamanku, kebanyakan orang membuat-buatkan cela baginya dan mereka mengatakan bahwa ia adalah seorang yang miskin. Jika ia miskin, kekayaanku sangat banyak. Bagaimana pun, aku sangat mencintanya dan aku pun telah meminangnya.”
Waraqah berkata, “Apa yang akan kau berikan padaku jika malam ini aku menikahkanmu dengannya?”
Khadijah berkata, “Apakah selama ini aku mempersulit urusan terhadapmu? Kuserahkan semua kekayaanku padamu. Pilihlah apa yang kau sukai.”
Waraqah berkata, “Khadijah, aku tidak menginginkan perhiasan dunia. Masa depan memiliki perhitungan dan terdapat kitab amal dan siksa. Keselamatan akan dimiliki oleh orang yang mengikuti Muhammad dan membenarkan risalahnya. Celakalah orang yang menyimpang dari jalan surga dan memilih jalan menuju neraka.”
Khadijah berkata, “Apa yang kau inginkan akan kuberikan padamu.”
Menurut versi sejarah ini, Waraqah pergi menemui Khuwailid untuk mengingatkannya agar tidak menolak Bani Hasyim dan mengkritik tindakannya yang tidak baik. Khuwailid beralasan, “Muhammad tidak memiliki kekayaan, dan kukira Khadijah tidak akan mau.”
Waraqah menjawab kedua alasan Khuwailid itu dan mengajaknya untuk pergi bersama ke rumah Abu Thalib demi menebus kesalahannya selama ini dan mengambil hati Bani Hasyim kembali. Akhirnya, Khuwailid menyerahkan seluruh urusan putrinya kepada Warqah bin Naufal di rumah Abu Thalib dan mengumumkan bahwa ia adalah wakilnya dalam semua urusan Khadijah.
Pernikahan Rasulullah dengan Khadijah
            Hamzah, paman nabi tidak puas dengan perwakilan ini dan menetapkan agar perwakilan itu dinyatakan di depan kaum Quraisy. Kemudian mereka bersama-sama datang ke Ka’bah dimana sekelompok orang sudah berkumpul disana seperti Shalat bin Abi Wahab, Hisyam bin Mughirah, Abu Jahal bin Hisyam,Uqbah bin abi Mu’ith, Umayah bin Khalaf dan Abu Sufyan. Di hadapan mereka, Khuwailid juga mengakui perwakilan itu dan memutuskan bahwa esok harinya akan melangsungkan pertunangan resmi.
Imam Shadiq as bersabda: ”Ketika Rasulullah saw ingin menikahi Khadijah, Abu Thalib bersama rombongan Quraisy datang menemui paman Khadijah, Waraqoh bin Naufal. Pertama, Abu Thalib yang mulai berbicara dan berkata: ”Puji syukur kepada Tuhan seluruh alam pemilik rumah ini yang telah menjadikan kami dari golongan Ibrahim al-Khalil dan Ismail serta penghuni rumah-Nya yang penuh keamanan. Dia menjadikan kami sebagai hakim masyarakat dan mencurahkan nikmat-Nya dari tanah suci ini kepada kami. Inilah keponakanku, Muhammad bin Abdillah, orang termulia di kalangan Quraisy dan tidak satupun yang sepadan dan serupa dengannya. Sekalipun ia miskin dan tidak punya harta (tapi harta dan kekayaan adalah teman pengkhianat dan cepat pergi). Ia sangat mencintai Khadijah dan ia juga mencintainya. Kami datang untuk meminangnya. Berapa saja maskawin yang ia relakan kami akan memenuhinya, baik kontan maupun tidak. Ya Allah, saya bersaksi bahwa keponakannku adalah sosok agung dan memiliki masa depan yang jernih, agama serta keyakinan yang suci.”
Abu Thalib mengakhiri pembicarannya dan berakhir pula pertunangan dari pihak lelaki. Paman Khadijah, Waraqoh juga ingin berbicara, namun mulutnya terasa berat dan tidak bisa menyampaikan apa yang seharusnya disampaikan. Disaat inilah Khadijah berbicara: Paman, sekalipun engkau pemegang semua urusanku dan saksi kehidupanku namun kali ini aku yang labih berhak maju, lalu ia mengucapkan akad nikah sendiri sebagai berikut:
”Muhammad yang mulia, aku nikahkan diriku untukmu dan maskawin serta biaya perkawinan ini aku ambil dari kakayaanku. Katakanlah kepada pamanmu untuk menyembelih unta, menyiapkan resepsi perkawinan dan masuklah ke rumah istrimu kapan saja engkau mau.”
Abu Thalib memanfaatkan kesempatan yang ada dan berkata: ”Jadilah kalian saksi bahwa Khadijah telah menerima maskawin yang diambil dari hartannya.” Sebagian orang Ouraisy yang hadir di situ, karena merasa iri, dengan suara mengejek berteriak; ”Aneh sekali! Dulu kaum lelaki yang memberi maskawin, tapi sekarang kami lihat orang perempuan yang justru menyerahkan maskawin kepada calon suaminya.” Abu Thalib merasa terpukul dan marah dengan ucapan ini (dia adalah lelaki kharismatik dimana orang ketakutan sewaktu marah) lalu berkata: ”Jika mempelai lelaki seperti keponakanku maka tidak menjadi masalahperempuan yang memberi maskawin yang mahal, akan tetapi jika yang menikah seperti kamu maka memang selayaknya kamu menanggung maskawin yang besar.”

Akhirnya, Abu Thalib menyembelih unta dan mengadakan walimah serta menikahkan Nabi saw dengan Khadijah.

Post a Comment for "Sirah Nabawi : Kisah Pernikahan Rasulullah SAW Dengan Khajidah binti Khuwailid"