
Mempersiapkan Momentum Bonus Demografi 2030 itulah yang lebih pas untuk judul artikel tulisan ini. Momentum ini menuntut kita harus mengambil langkah-langkah strategis dan cerdas untuk memanfaatkan momentum langka ini. Karena kalau tidak, kita akan kehilangan peluang yang luar biasa. Kalau meminjam lagunya Elvis Presley, maka pilihannya adalah: ambil peluang itu sekarang, atau tidak sama sekali untuk selamanya, “now or never“. Mengulas megatrend (kejadian seabad sekali) yaitu bonus demografi bangsa Indonesia yang akan terjadi pada tahun 2030.
Bonus demografi adalah bonus atau peluang (window of opportunity) yang dinikmati suatu negara sebagai akibat dari besarnya proporsi penduduk produktif (rentang usia 15-64 tahun) dalam evolusi kependudukan yang dialaminya. Maka kemudian muncul parameter yang disebut “rasio ketergantungan” (dependency ratio), yaitu rasio yang menunjukkan perbandingan antara kelompok usia produktif dan non produktif. Rasio ini sekaligus menggambarkan berapa banyak orang usia non produktif yang hidupnya harus ditanggung oleh kelompok usia produktif. Semakin rendah angka rasio ketergantungan suatu negara, maka negara tersebut makin berpeluang mendapatkan bonus demografi.
Bonus demografi menjadi pilar peningkatan produktivitas suatu negara dan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi melalui pemanfaatan SDM produktif. Ketika angka fertilitas menurun, pertumbuhan pendapatan perkapita untuk memenuhi kebutuhan penduduk usia anak-anak dapat dialihkan untuk peningkatan mutu manusia. Pada saat yang sama, jumlah anak yang sedikit membuka peluang perempuan untuk masuk ke pasar kerja yang sekali lagi akan mendongkrak produktivitas.
Menurut guru besar demografi Universitas Indonesia Prof. Dr Sri Moertiningsih Adioetomo, Indonesia sudah mendapat bonus demografi mulai 2010 dan akan mencapai puncaknya sekitar tahun 2030. Berdasarkan data BPS hasil sensus penduduk tahun 2010 angka rasio ketergantungan kita adalah 51,3% (lihat grafik). Bonus demografi tertinggi biasanya didapatkan angka ketergantungan berada di rentang antara 40-50%, yang berarti bahwa 100 orang usia produktif menanggung 40-50 orang usia tidak produktif.
Kalau dipilah ke dalam kelompok desa dan kota, maka angka ketergantungan di perkotaan sudah mencapai angka 46,6%, artinya sudah masuk dalam rentang “masa keemasan” bonus demografi. Sementara untuk pedesaan masih bertengger di angka 56,3%. Yang juga menarik dari data tersebut adalah bahwa sekitar 34% dari masyarakat kita berada di rentang usia muda (15-35 tahun) yang sangat produktif. Kaum muda harapan bangsa inilah yang akan menjadi engine of growth yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih kencang lagi.
Kalau kita melihat di negara lain, maka negara-negara maju seperti Eropa sudah melewati masa keemasan bonus demografi, sementara beberapa negara Asia seperti Cina kini sudah mulai menikmatinya. Bonus demografi di negara-negara Eropa terjadi bervariasi antara tahun 1950-2000. Cina mulai menikmati bonanza bonus demografi sejak tahun 1990 dan akan berlangsung sampai 2015. India, hampir sama dengan kita, mendapatkan bonus demografi sejak tahun 2010. Sementara di negara-negara Afrika, bonus demografi bakal didapatkan hingga tahun 2045.
“Now or Never”
Pertanyaannya, apakah bonus demografi by default menjadi “hak” setiap negara tanpa harus ngapa-ngapain? Of course tidak! Kalau penduduk produktif yang berjumlah besar itu kerjanya cuma malas-malasan, maka tentu saja mereka bukannya menjadi aset bangsa tapi justru menjadi benalu yang menggerogoti daya saing. Kalau penduduk produktif dalam jumlah besar itu kualitasnya payah karena cuma lulusan SD-SMP, maka mereka bukannya menjadi engine of growth tapi sebaliknya menjadi beban karena gaji dan BBM-nya harus disubsidi pemerintah.
Karena itu “kesempatan seabad sekali” ini harus kita manfaatkan sebaik mungkin dengan meningkatkan kualitas SDM, terutama kita-kita yang saat ini berada di rentang usia produktif 15-64 tahun. Yang wirausahawan harus makin canggih mengintip peluang dan mengelola sumber daya. Yang profesional harus membangun kompetensi yang makin kompetitif secara global. Yang buruh pabrik haruslah makin terampil dan memiliki kualitas kerja excellent.
Itu dari sisi “hard aspect” (kompetensi dan kapabilitas). Dari sisi “soft aspect“, kelas produktif kita haruslah bermental positif, optimis, kreatif. Bukannya mental negatif: memfitnah, menjatuhkan lawan, mencari-cari kesalahan orang, atau menggali kejelekkan-kejelekkan rekan.
“Menata Kesempatan”
Bonus demografi hanya akan menjadi berkah jika disokong oleh sumber daya manusia yang berkualitas. Dan ini bakal sulit terwujud jika pertumbuhan ekonomi mengesampingkan peran sektor riil. Faktual, sebagian besar penduduk –utamanya penduduk miskin –menggantungkan hidupnya di sektor riil. Peran sektor rill yang –seperti–terlupakan dalam pembangunan menjadikan akses dan kesempatan penduduk miskin untuk meningkatkan kapabilitas diri (utamanya pendidikan) kian terbatas. Dalam hal pendidikan, misalnya, mereka tak bisa berbuat banyak di tengah kapitalisasi lembaga pendidikan yang hanya memberi kesempatan lebih kepada kelompok kaya. Jangan heran kalau kemudian 2,3 juta anak negeri ini terpaksa harus menjadi pekerja karena mahalnya akses pendidikan (Kompas, 10/09/2012).
Tentu sebuah mimpi buruk jika sebagian besar penduduk usia muda (sekolah) –yang berasal dari rumah tangga miskin –saat ini justru menjadi beban di pasar tenaga kerja saat masa bonus demografi itu tiba, karena kompetensi mereka yang rendah. Oleh karena itu, sudah menjadi tugas negara untuk menata kesempatan (managing opportunity) buat mereka dalam 15 tahun ke depan. Mereka harus diberi kesempatan untuk mendapatkan akses pendidikan yang murah/terjangkau dan berkualitas.
Sebagai gambaran kesiapan dalam menyabut bonus demografi Wakil Presiden Republik Indonesia (RI), Boediono, yang dimanfaatkan dengan baik melalui perbaikan kualitas pendidikan. Tidak cukup hanya infrastruktur saja yang diperbaiki dan menjadi sasaran perbaikan, namun isi yang diajarkan pada anak-anak juga merupakan sesuatu yang penting.
Dalam mempersiapkan momentum megatrand, maka masyarakat indonesia terutama para pemuda sebagai generasi pelaku sekaligus objek dari bonus demografi sangat penting untuk dipersiapkan agar tidak gagap dalam menghadapi momentum besar tersebut. Sehingga pembangunan kualitas SDM muda Indonesia harus diprioritaskan, bisa melalui pendidikan salah satu cara. Selain itu penting adanya upaya pengembalian karakter bangsa Indonesia. Jauh dari budaya western baik itu liberalisme maupun kapitalisme, sebagai mana apa yang diperjuangan para pahlawan kemerdekaan dan funding father bagsa indonesia. Dengan itu harapanya Indonesia akan menjadi bangsa yang besar dengan mengoptimalkan momentum Bonus Demografi 2030.
Post a Comment for "Momentum Bonus Demografi"