Tap This All You Need Here by Affiliated Shopee

Mengokohkan Peran Muslim Negarawan dalam Upaya Menciptakan Tatanan Masyarakat yang Berkarakter Madani


Pendahuluan
Setiap zaman memiliki sejarah yang berbeda, pemikiran-pemikiran yang berbeda dan tokoh-tokoh yang berbeda jua. Islam yang diklaim sebagai agama yang komprehensif, baik dari kalangan intern maupun kalangan ekstern- bahkan orientalis sekalipun juga mempunyai cerita tersendiri dalam sejarah ke-tata negaraannya. Bermula sejak Nabi telah memilki konsep dasar dalam bernegara , terbukti dengan adanya penyebutan dalam sejarah yaitu adanya negara Madinah, yang dianggap merupakan praktek bernegara pertama yang dilakukan Nabi, dengan konsep diantaranya, Hak Azazi Manusia, serta penanaman sikap tenggang rasa antar sesama umat beragama-diakatakan demikian, karena pada saat itu umat Yahudi juga berdampingan dengan umat Islam di Madinah, dalam Al-Quran sendiri tidak ditemukan adanya petunjuk eksplisit pada ayat-ayatnya mengenai tata cara bernegara dalam Islam, melainkan hanya melalui penyebutan prinsip-prinsip dasar dalam kehidupan sehari-hari.
Pada fase setelah wafat Nabi, dunia peraturan politik dan tata negara mengalami berbagai perubahan, seperti pada masa Khalifah al-‘Arba’ah, system negara memakai pola Khilafah, namun setelah terjadinya pengkudetaan di masa Ali, sistem kenegaraan berubah menjadi monarki atau kerajaan yang dimasa-masa selanjutnya kekuasaan selalu diserahkan kepada putra mahkota, dimulai dengan pemegangan tampuk kekuasaan Muawiyah bin Abi Sufyan dengan putra mahkotanya Yazid.
Menilik cerita tahun 1400 H dalam rangka simposium peran imigran Muslim di Amerika, diundanglah tokoh-tokoh Muslim dari berbagai negara termasuk Indonesia-yang waktu itu dihadiri Muh Nastir. Dari sana kemudian para tokoh ini memanfaatkan moment tersebut untuk berbincang-bincang tentang dunia Islam. Kemudian muncullah kesepakatan untuk menajikan abad ke 15 Hijriah ini sebagai abad kebangkitan Islam. Hal ini dilihat dari kondisi Islam dunia saat itu memang sangat tertinggal. Maka dimulailah abad kebangkitan Islam itu dengan tekad bersama untuk mengembalikan kejayaan Islam dengan segala kemampuan dan usaha yang dimiliki.
Saat ini, setelah 20 tahun seruan itu dikumandangkan kondisi umat Islam belumlah seperti yang diharapkan sebagai sesuatu yang benar-benar bangkit. Umat Islam dunia masih saja dalam kondisi keterpurukan. Mekipun telah beberapa orang, kelompok dan organisasi yang mulai bangkit dan menyerukan hal yang sama sambil menyeadarkan umat islam dan berkarya untuk membuktikan hal itu. Hingga saat ini praktis bisa dikatakan bahwa umat Islam memang masih sebagai sesuatu yang belum berarti (secara politis) bagi dunia.
Maka perlu adanya sosok pemuda intelek yang mampu mengembalikan kejayaan umat dan berani bertarung dalam pergulatan demokrasi. KAMMI pergerakan mahasiswa muslim yang sering menyatakan diri bahwa mereka adalah Muslim negarawan sebagai solusi atas lemahanya kekuatan umat islam dalam pemerintahan, sepertinya sebuah istilah yang sudah tidak asing lagi di telinga saya dan mungkin di telinga para pembaca semuanya. Islam sejak masa Rasulullah hingga saat ini sudah tidak asing lagi dengan dunia politik dan urusan tentang negara. Kita kenal madinah, sebuah wilayah yang kita kenal sebagai wilayah paling sukses menerapkan hukum yang kita kenal dengan piagam madinah. Sebuah piagam yang diambil nilai-nilainya dari hukum Allah. Madinah adalah sebuah dambaan bagi setiap pemimpin dunia untuk mewujudkan negaranya menjadi layaknya madinah yang kita kenal dengan masayarakat madani.
Rijalul pada tahun 2008 menyebutkan dalam Menyiapakan Momentum menyenyatakan bahwa “ Muslim Negarawan adalah kader KAMMI yang memiliki basis ideologi Islam yang megakar, basis pengetahuan dan pemikiran yang mapan, idealis dan konsisten, berkontribusi pada pemecahan problemetika umat dan bangsa, serta mampu menjadi perekat komponen bangsa pada upaya perbaikan.”
KAMMI mengagas sebagai Muslim Negarawan upaya menciptakan tatanan masyarakat yang madani dalam tatanan sistem negara yang islami. Yang dimaksud masyarakat madani yang seperti bagaimana?  Banyak dari perbagai sumber dalam mendifisikan masyarakat madani. Sejak digulirkannya istilah masyarakat madani pada tahun 1995 oleh Datuk Anwar Ibrahim, yang kemudian diikuti oleh Nurcholis Madjid (Mahasin, 1995: ix), sejak itu pula upaya untuk mewujudkan masyarakat madani telah "menggoda" dan memotivasi para pakar pendidikan untuk menata dan mencari masukan guna mewujudkan masyarakat madani yang dimaksud.
Seligman seperti yang dikutip Mun’im (1994: 6) mendefinisikan istilah civil society sebagai seperangkat gagasan etis yang mengejawantah dalam berbagai tatanan sosial, dan yang paling penting dari gagasan ini adalah usahanya untuk menyelaraskan berbagai konflik kepentingan antarindividu, masyarakat, dan negara. Sedangkan civil society menurut Havel seperti yang dikutip Hikam (1994: 6) ialah rakyat sebagai warga negara yang mampu belajar tentang aturan-aturan main melalui dialog demokratis dan penciptaan bersama batang tubuh politik partisipatoris yang murni. Gerakan penguatan civil society merupakan gerakan untuk merekonstruksi ikatan solidaritas dalam masyarakat yang telah hancur akibat kekuasaan yang monolitik. Secara normatif-politis, inti strategi ini adalah usaha untuk memulihkan kembali pemahaman asasi bahwa rakyat sebagai warga negara memiliki hak untuk meminta pertanggungjawaban kepada para penguasa atas segala yang mereka lakukan atas nama pemerintah.
Istilah madani menurut Munawir (1997: 1320) sebenarnya berasal dari bahasa Arab, madaniy. Kata madaniy berakar dari kata kerja madana yang berarti mendiami, tinggal, atau membangun. Kemudian berubah istilah menjadi madaniy yang artinya beradab, orang kota, orang sipil, dan yang bersifat sipil atau perdata. Dengan demikian, istilah madaniy dalam bahasa Arabnya mempunyai banyak arti. Konsep masyarakat madani menurut Madjid (1997: 294) kerapkali dipandang telah berjasa dalam menghadapi rancangan kekuasaan otoriter dan menentang pemerintahan yang sewenang-wenang di Amerika Latin, Eropa Selatan, dan Eropa Timur.
Masyarakat madani menurut Rahardjo seperti yang dikutip Nurhadi (1999: 9) ialah masyarakat yang beradab. Istilah masyarakat madani selain mengacu pada konsep civil society juga berdasarkan pada konsep negara-kota Madinah yang dibangun Nabi Muhammad SAW pada tahun 622M. Masyarakat madani juga mengacu pada konsep tamadhun (masyarakat yang berperadaban) yang diperkenalkan oleh Ibn Khaldun dan konsep Al Madinah al fadhilah (Madinah sebagai Negara Utama) yang diungkapkan oleh filsuf Al Farabi pada abad pertengahan.
Dalam memasuki milenium III, tuntutan masyarakat madani di dalam negeri oleh kaum reformis yang anti status quo menjadi semakin besar. Masyarakat madani yang mereka harapkan adalah masyarakat yang lebih terbuka, pluralistik, dan desentralistik dengan partisipasi politik yang lebih besar (Nordholt, 1999: 16), jujur, adil, mandiri, harmonis, memihak yang lemah, menjamin kebebasan beragama, berbicara, berserikat dan berekspresi, menjamin hak kepemilikan dan menghormati hak-hak asasi manusia (Farkan, 1999: 4).
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat madani pada prinsipnya memiliki makna ganda yaitu: demokrasi, transparansi, toleransi, potensi, aspirasi, motivasi, partisipasi, konsistensi, komparasi, koordinasi, simplifikasi, sinkronisasi, integrasi, emansipasi, dan hak asasi, namun yang paling dominan adalah masyarakat yang demokratis. Perbedaan yang tampak jelas adalah civil society tidak mengaitkan prinsip tatanannya pada agama tertentu, sedangkan masyarakat madani (al-madaniy) jelas mengacu pada agama Islam. Konsep masyarakat madani menurut Islam adalah bangunan politik yang: demokratis, partisipatoris, menghormati dan menghargai publik seperti: kebebasan hak asasi, partisipasi, keadilan sosial, menjunjung tinggi etika dan moralitas, dan lain sebagainya. Dengan mengetahui makna madani, maka istilah masyarakat madani secara mudah dapat difahami sebagai masyarakat yang beradab, masyarakat sipil, dan masyarakat yang tinggal di suatu kota atau berfaham masyarakat kota yang pluralistik.
Manfaat yang diperoleh dengan terwujudnya masyarakat madani ialah terciptanya masyarakat Indonesia yang demokratis sebagai salah satu tuntutan reformasi di dalam negeri dan tekanan-tekanan politik dan ekonomi dari luar negeri. Di samping itu, menurut Suwardi (1999: 66) melalui masyarakat madani akan mendorong munculnya inovasi-inovasi baru di bidang pendidikan. Selanjutnya, ditambahkan oleh Daliman (1999: 78-79) bahwa dengan terwujudnya masyarakat madani, maka persoalan-persoalan besar bangsa Indonesia seperti: konflik-konflik suku, agama, ras, etnik, golongan, kesenjangan sosial, kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan pembagian "kue bangsa" antara pusat dan daerah, saling curiga serta ketidakharmonisan pergaulan antarwarga dan lain-lain yang selama Orde Baru lebih banyak ditutup-tutupi, direkayasa dan dicarikan kambing hitamnya; diharapkan dapat diselesaikan secara arif, terbuka, tuntas, dan melegakan semua pihak, suatu prakondisi untuk dapat mewujudkan kesejahteraan lahir batin bagi seluruh rakyat. Dengan demikian, kekhawatiran akan terjadinya disintegrasi bangsa dapat dicegah
Guna mewujudkan masyarakat madani dibutuhkan motivasi yang tinggi dan partisipasi nyata dari individu sebagai anggota masyarakat. Hal ini mendukung pendapat Suryadi (1999: 23) dan Daliman (1999: 78) yang intinya menyatakan bahwa untuk mewujudkan masyarakat madani diperlukan proses dan waktu serta dituntut komitmen masing-masing warganya untuk mereformasi diri secara total dan selalu konsisten dan penuh kearifan dalam menyikapi konflik yang tak terelakan. Tuntutan terhadap aspek ini sama pentingnya dengan kebutuhan akan toleransi sebagai instrumen dasar lahirnya sebuah konsensus atau kompromi.
Isi
Setelah sekian lama dunia Islam tenggelam tertutp oleh peradaban barat (Pasca takluknya Dinasti Abbasiyah, selaku pusat pemerintahan Islam, ketangan bangsa Mongol) kemudian tersadarlah para leader Islam (sejak abad XVIII M). Bahwa pada saat itu Islam sudah tertinggal jauh dari peradaban lainnya. Dan bangkitlah mereka dengan berbagai upaya untuk menghidupkan kembali dunia pemikiran Islam. Berbeda dengan dua masa sebelumnya, para tokoh dimasa ini tidak mengemukakan kembali dasar-dasar berdirinya negara, dll. Melainkan lebih terfokus pada praktek berpolitik praktis, seperti Al-Maududi yang mengembangkan konsep Jihad (holy war) guna pengembalian keeksistensian Islam. Sekalipun konsep jihad ini mempunyai pandangan yang negative dari barat kepada pemeluknya.
Cita-cita yang luhur tersebut ditandai dengan munculnya para tokoh dan beberapa organisasi beserta pemikiran-pemikiran yang mengutamakan revivalisasi ajaran Islam, diantara tokoh-tokoh yang terkenal adalah Sayid Jamal Al-Din Al-Afghani (1838-1897 M), Muhammad Abduh (1849-1905 M), Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M), Ali Abd Al-Raziq (1888-1966 M), Hasan Al-Banna (1906-1949 M), Sayyid Quthb (1906-1966 M). Dua nama yang disebut terakhir adalah termasuk aktifis dari organisasi Al-Ikhwan Al-Muslimin, Abu Al-A’la Al-Maududi (1903-1979 M). Para tokoh dalam upaya revivalisasi ini terbagi kepada tiga corak; Sekuleristik, Moderat, Integralistik.
Oleh karena itulah dibutuhkan sosok pemuda yang sebagai penerus kejayaan umat Islam. Sebagai generasi penganti dari yang lalu telah terpuruk dikembalikan ke pada kejayaan Islamyah. Muslim Negarawan adalah Agent of Change. Tidak akan terwujud masyarakat madani tanpa adanya generasi penerus yang memiliki karasteristik masyarakat madani.
Generasi penerus sebagai anggota masyarakat harus benar-benar disiapkan untuk membangun masyarakat madani yang dicita-citakan. Masyarakat dan generasi muda yang mampu membangun masyarakat madani dapat dipersiapkan melalui pendidikan (Hartono, 1999: 55). Senada dengan pendapat Hartono tersebut, Marzuki (1999: 50) menyatakan bahwa salah satu cara untuk mewujudkan masyarakat madani adalah melalui jalur pendidikan, baik di sekolah maupun di luar sekolah.
Generasi penerus merupakan anggota masyarakat madani di masa mendatang. Oleh karena itu, mereka perlu dibekali cara-cara berdemokrasi melalui demokratisasi pendidikan. Dengan demikian, demokratisasi pendidikan berguna untuk menyiapkan peserta didik agar terbiasa bebas berbicara dan mengeluarkan pendapat secara bertanggung jawab, turut bertanggung jawab (melu angrungkebi), terbiasa mendengar dengan baik dan menghargai pendapat orang lain, menumbuhkan keberanian moral yang tinggi, terbiasa bergaul dengan rakyat, ikut merasa memiliki (melu handarbeni), sama-sama merasakan suka dan duka dengan masyarakatnya (padhasarasa), dan mempelajari kehidupan masyarakat. Kelak jika generasi penerus ini menjadi pemimpin bangsa, maka demokratisasi pendidikan yang telah dialaminya akan mengajarkan kepadanya bahwa seseorang penguasa tidak boleh terserabut dari budaya dan rakyatnya, pemimpin harus senantiasa mengadakan kontak dengan rakyatnya, mengenal dan peka terhadap tuntutan hati nurani rakyatnya, suka dan duka bersama, menghilangkan kesedihan dan penderitaan-penderitaan atas kerugian-kerugian yang dialami rakyatnya. Pernyataan ini mendukung pendapat Suwardi (1999: 66) yang menyatakan bahwa sistem pendidikan yang selalu mengandalkan kekuasaan pendidik, tanpa memperhatikan pluralisme subjek didik, sudah saatnya harus diinovasi agar tercipta masyarakat madani. Upaya ke arah ini dapat ditempuh melalui demokratisasi pendidikan.
Masayarakat madanai ini tak lepas dari seorang tokoh pemimpin dunia yang sangat tidak asing lagi yaitu Rasulullah Muhammad Saw. Sosok pemimpin yang sangat jujur, amanah, penyampai pesan yang baik, dan sangat cerdas. Sosok pemimpin yang sangat didambakan oleh setiap umat manusia. Beliau yang dilahirkan dengan kondisi yatim dan kemudian disusul ibundanya yang meninggal kala beliau masih berusia enam tahun. Beliau yang saat masih muda dijuluki Al-Amin oleh para penduduk setempat karena kejujurannya. Sosok seperti beliaulah yang cocok memimpin Indonesia bahkan dunia saat ini.
Jika saat ini Indonesia sedang kehabisan stok pemimpin yang jujur, amanah, seorang penyampai pesan yang baik, dan sosok yang cerdas. Maka patutlah jika kita menjadikan Rasulullah sebagai teladan yang baik bagi kita. Memang banyak yang menyangsikan, karena ketiadaan beliau karena telah wafat. Tapi bagi saya itu bukanlah alasan. Banyak sirah-sirah yang ditulis oleh para pakar yang baik. Bnyak yang menulisakan biografi tentang beliau. Banyak pula yang menulisakn  tentang kepribadian beliau. Jadi bukanlah alasan tidak ada contoh atau teladan saat ini untuk dijadikan tokoh idaman bagi diri kita yang kelak akan menjadi pemimpin, karena sudah kodratnya, setiap kalian adalah pemimpin.
Musliam negarawan bagi saya bukanlah hal yang tabu atau bahkan mustahil. Islam sangat sempurna (syumul), membahas segalanya dalam kitab suci yang abadi sepanjang zaman Al-Qur’an. Tidaklah mustahil untuk seorang muslim menjadi suri tauladan, menjadi seorang oemimpin layaknya Rasulullah, meski tidak sesempurna Rasulullah. Abu Bakar kala beliau menjadi seorang Khalifah sempat berkata, “Sya bukanlah orang yang paling baik diantara kalian.” Itu benar, karena segala sesuatu yang baik hanyalah milik Allah, tugas kita hanya menyampaikannya. Abu Bakar pun pernah meminta para sahabatnya untuk membantunya menyelesaikan masalah. Berarti ini menunjukkan bahwa sesungguhnya kebijaksanaan seorang pemimpin terletak pada saat dia bisa melibatkan setiap individu yang dipimpinnya untuk turut berpartisipasi dalam setiap keberlangsungan negaranya.
Jika banyak yang meributkan tentang sistem kekhlaifahan di Indoensia, maka sangat terlalu prematur jika mereka lupa memperhatikan, kondisi masyarakatnya. Bukan pada kemajemukannya saja, melainkan lebih pada kepahaman tentang sistem pemerintahan Islam yang sesungguhnya. Madinah yang kala itu juga majemuk, dengan tiga agama yang ada di dalamnya, ada Islam, Yahudi, dan Kristiani telah mampu menunjukkan eksistensinya sebagai pemerintahan Islam yang memperhatiakan hak setiap individu yang ada di dalam naungannya. Rasulullah sebagai pemimpinnya kala itu telah menunjukkan keadilannya dalam memimpin setiap individu yang ada di dalam naungannya. karena itulah yang seharusnya diperhatikan setiap pemimpin dalam memimpin rakyatnya.
Kepemimpinan Islam itu butuh pemahaman pada diri setiap individu yang hidup di dalamnya, dan seorang pemimpin butuh kebijaksanaan yang dapat diterima setiap hati rakyatnya. Sososk muslim negarawan yang sangat baik adalah Rasulullah, para sahabtanya (khulafaur rasyidin), dan para pemimpin Islam lain yang telah berhasil menjadikan jiwa setiap rakyatnya adalah kesatria Islam sejati, seperti Muhammad Al Fatih, Hasan Al-Bana, Sayyid Quthb, dan masih banyak lagi lainnya. Masih ada juga para pemimpin yang meski mereka bukan seorang muslim, tapi terbukti mampu memimpin dan memberikan pengaruh besar dalam diri setiap rakyatnya, diantaranya adalah Abraham Lincoln, Mahatma Gandi, dan lainnya.
Betapa banyak teladan untuk dijadikan teladan mulai dari yang muslaim sampai mereka yang non muslim, dan sebagai seorang muslim tentu harus lebih paham bagaimana sifat kepemimpinan yang baik, karena mempunyai contoh yang sangat luar buasa yaitu Rasulullah Muhammad Saw untuk dijadikan teladan sebagai muslim negarawan.
Kesimpulan
     Istilah Negarawan (statesman) merupakan istilah yang cukup populer. Dalam ensiklopedia dijelaskan, seorang negarawan biasanya merujuk pada politisi atau tokoh yang berprestasi (berjasa) satu negara yang telah cukup lama berkiprah dan berkarir di kancah politik nasional dan internasional pada bangsa dan negara tentu merupakan tkoh yang mengabdikan pikiran dan tenaganya bagi kemajuan dan kemakmuran bangsanya.
Kepemimpinan politik yang negarawan tentu saja amat terkait dengan komitmen kebangsaan dan kenegaraan. Sikap tersebut menuntut para politisi untuk meminimalkan kepentingan pribadi dan kelompok. Sebaliknya, memaksimalkan kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar.
Negarawan adalah orang yang berjasa dan berkorban demi bangsa dan negaranya, tidak memandang apa latar belakang politiknya. Dalam konteks partai politik, idealnya ketika kader partai terpilih menjadi penjabat negara, maka berlakulah adagium, “Ketika tugas negara dimulai, maka kepentingan politik berakhir”
Seorang negarawan memiliki karakter moral yang pasti, dimana para pengikutnya dapat meneledaninya dengan sepenuh hati. Seorang negarawan adalah yang memiliki watak yang baik dan senantiasa menjaga citra dirinya dengan melakukan aktivitas-aktivitas yang bermanfaat bagi masyarakat, berbangsa dan negara.
Seorang pemimpin (politik) yang negarawan, memiliki karakter kepemimpinan yang kuat serta komitmen kebangsaan yang tegas; sederhana dan senantiasa berupaya menjadi teladan yag baik bagi yang dipimpin; mampu memberikan motivasi pada rakyat untuk senantiasa optimis (tidak putus asa) dan mampu memecahkan masalah; mampu mengayomi rakyat secara adil dan tidak sewenang-wenang; dan mampu mengembangkan kerjasama secara sinergis antarelemen politik (sosial) yang ada di dalam masyarakat yag majemuk. (Sudarsono, 2010)
Sudah seharusnya karakter dan sifat kenegarawanan para pemimpin kita terdahulu perlu diinternalisasikan ke dalam tiap diri para pemimimpin, terutama kepada kader KAMMI yang memiliki visi menjadiakn Muslim Negarawan. Bangsa ini butuh keteladan dan sikap-sikap kenegarawanan yang dicontohkan Rasulullah SAW.
Daftar Pustaka
Daliman, A. 1999. Reorientasi Pendidikan Sejarah melalui Pendekatan Budaya Menuju Transformasi Masyarakat Madani dan Integrasi Bangsa, Cakrawala Pendidikan. Edisi Khusus Mei Th. XVIII No. 2.
Farkan, H. 1999. Piagam Medinah dan Idealisme Masyarakat Madani. Bernas, 29 Maret.
Gellner, E. 1995. Membangun Masyarakat Sipil: Prasyarat Menuju Kebebasan (Terjemahan Hasan, I) Bandung: Mizan.
Hartono. 1999. Perubahan Orientasi Pendidikan Menuju Masyarakat Madani, Cakrawala Pendidikan. Edisi Khusus Mei Th. XVIII No. 2.
Hikam, M.A.S. 1994. Demokrasi adakan Wacana Civil Society. Republika. 10 Oktober.
Imam, Rijalul. S. Hum.2008. Menyiapkan Momentum. Jakarta. Muda Cendikia
Mahasin, A. 1995. Masyarakat Madani dan Lawan-lawannya: Sebuah Mukadimah. Dalam Gneller. Membangun Masyarakat Sipil: Prasyarat menuju Kebebasan. Diterjemahkan: Hasan, I. Bandung: Mizan.
Martadiatmadja. 1986. Tantangan Dunia Pendidikan. Jakarta: Kanisius.

Marzuki. 1999. Membangun Masyarakat Madani melalui Pendidikan Islam Sebuah Refleksi Pendidikan Nasional, Cakrawala Pendidikan. Edisi Khusus Mei Th. XVIII No. 2.
Munawir, A.W. 1997. Al-Munawir: Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif.
Mun’im, A.D.Z. 1994. Masyarakat Sipil sebagai Masyarakat Beradab, Republika 20 September.
Nurhadi, M.A., dkk. 1999. Filosofi, Kebijaksanaan, dan Strategi Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdikbud.
Russel, B. 1998. Pendidikan dan Tatanan Sosial. Terjemahan: Abadi, A.S. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Suryadi, A dan Tilaar, H.A.R. 1993. Analisis Kebijakan Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sudarsono, Amin. 2010. Ijtihad Membangun Basis Gerakan. Jakarta. Muda Cendikia
Sudarsono, Amin. 2010. Ijtihad Membangun Basis Gerakan. Jakarta. Muda Cendikia
Suwardi, 1999. Demokratisasi Pendidikan dalam Pengajaran Pragmatik Sastra Sebagai Wahana Penciptaan "Masyarakat Madani" Cakrawala Pendidikan, Edisi Khusus Mei. Th. XVIII, No. 2











2 comments for "Mengokohkan Peran Muslim Negarawan dalam Upaya Menciptakan Tatanan Masyarakat yang Berkarakter Madani"

  1. Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kita perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu

    ReplyDelete