Tap This All You Need Here by Affiliated Shopee

Dari masa ke masa



Zaman terus berubah dari masa ke masa dan sekarang kita sedang memasuki dunia global yang lebih dinamis. Persoalan kali ini lebih rumit dari sekadar dikotomi kepentingan politik  yang pernah melibatkan Kapitalisme vs Sosialisme dua dekade lalu. Perang dingin telah usai tetapi jangan lupa perang itu belum hilang dari ingatan sadar manusia sehingga kita insaf bahwa pertarungan antara dua kutub tersebut masilah ada.
Di sini muncul permasalahan mengenai isalam yang syamil itu dimana pengaruhnya dizaman yang global ini? Padahal kita  meningat sejarah bahwa islam pernah menjadi soko guru perababan, islam pernah mengunasai 2/3 dunia yang bumi menjadi adil dengan segala peraturan pemerintahnya, rakyat dalam kehidupan yang aman sejahtera. Sekarang kita banyak mendengar bahwa kita adalah umat yang terbelakang dalam pentas peradaban dunia, yang konsumtif dan tidak produktif, mengekor dan tidak kreatif, dan menyerahkan urusan kita kepada orang lain, serta bahtera kita dikemudikan orang lain ke arah kepentingan yang ia inginkan. Dari literatur yang saya peroleh yang menjadi sebab keterbelakangan ini terbagi menjadi dua kelompok:

1. Kelompok yang menyatakan bahwa penjajahan sebagai biang seluruh keterbelakangan umat.
2. Kelompok yang memandang bahwa kebodohan di tengah umat, kerusakan akhlak, dan kondisi jumud dalam pemikiran serta keilmuan, itulah penyebab kehancuran peradaban, kemudian datanglah penjajah menambah keterbelakangan ini dan mengambil kesempatan di tengah kelemahan umat.
Kelompok ini meyakini seandainya umat Islam menghadapi serangan penjajah dalam kondisi berpegang teguh dengan dien dan akhlaknya, kreatif dalam bidang ilmu pengetahuan, maju dalam pemikiran dan peradaban, niscaya penjajah tersebut gagal total dalam mempengaruhi umat, bahkan bisa jadi justru merekalah yang terpengaruh dengan kepribadian umat sebagaimana terjadi pada pasukan Tatar (Mongol) dan pasukan Salib.
Sedangkan serangan penjajah Barat yang terakhir sejak awal abad ke X Hijriyah dan berlangsung selama empat abad, baru berhasil menguasai negeri-negeri Islam sesudah Perang Dunia I. Negeri-negeri Islam dijajah dengan menggunakan kekerasan yang paling keji dan dipecah belah menjadi beberapa kabilah, kelompok, atau negeri kecil. Fikrah Islamiyyah yang merupakan asas kesatuan umat pun diperangi, sambil ditanamkan dalam otak pemikir-pemikir muslim khususnya, dan umat secara umum, bahwa dunia Timur (Islam) tidak akan bangkit dari keterbelakangan kecuali bila umat membuang agama mereka sebagaimana Barat melakukannya. Dan, peradaban Barat yang “ilmiyah” harus diterima sepenuhnya, karena di dalamnya terdapat solusi bagi problematika masyarakat dulu dan kini.
Sekiranya perlu kita ketahui bidang yang paling dicermati oleh penjajah adalah di bidang perundang-undangan. Mereka tidak akan meninggalkan daerah jajahan kecuali jika telah yakin bahwa penduduknya siap memberlakukan undang-undang sekuler (Barat), sebagai ganti syari’at Islam. Sadar atau tidak sadar Seluruh negeri-negeri muslim yang telah meraih kemerdekaan secara politis telah menyingkirkan syari’at Islam dan menggantikannya dengan undang-undang Barat, dan penerapan syari’at hanya terbatas pada urusanurusan pribadi, bahkan akhirnya itupun tidak diberlakukan lagi.
Dari seorang pemikir menganalisis mengatakan bahwa:
“Undang-undang memiliki hubungan erat dengan akhlak masyarakat. Apabila manusia menetapkan suatu undang-undang, pasti di balik itu ada filosofi perilaku kemasyarakatan, dan masyarakat pasti akan diarahkan untuk hidup sesuai filosofi tersebut. Demikian juga jika manusia menghapus sebuah undangundang, berarti ia menghapus konsep akhlak dan filosofi kemasyarakatannya yang menjadi landasan undang-undang tersebut. Maka tatkala penjajah menghapus syari’at Islam dan menggantinya dengan undang-undang mereka, hal itu tidak berarti sebuah undang-undang telah digantikan oleh undang-undang lain saja, tetapi juga berarti bahwa di negeri itu sistem akhlak dan kemasyarakatan telah dihapus dengan sistem yang lain.”
            Dari beberapa pernyataan diatas itulah akibat dari kekuasaan kaum ghoirunas yang berkuasa di negara-negara islam yang membuatnya sembah nuwun dengan segala sistem bentukan mereka. Maka peran kita untuk mengembalikan izzah islamiyah dan membuktikan bahwa islam adalah agama yang syamil  sebagai rahmatan il’alamin, jauh dari apa yang difitnakan oleh paham barat yang mengatakan bahwa agama adalah agama hanyalah hubungan seseorang dengan Tuhan-nya, tidak ada hubungan selain itu, atau lebih dikenal dengan paham sekulerisme.
Dampak yang sangat luar biasa berbahaya ketika sebuah kepentingan politik itu menjauhkan manusia dari tuhannya. Sekarang kita lihat dari sistem-sistem kebijakan yang dibuat manusia mengalami kehancurannya dan kebobrokan disegala dibadang, contoh krisis segala aspek mulai ekonomi sampai moral yang diamali oleh Amerika dan Eropa akibat dari penerapan sistem buatan manusia yang bersifat sementara.
Maka sangatlah perlu untuk menjadi sistem islam diterapkan dalam negara untuk membangun peradaban islam melalui bidang perpolitikan. Dalam sebuah tesis menyebutkan bahwa Rosulullah telah melalukan perpolitikan islam dalam sebuah negara, yang mana gerakan politik diawali dengan hijrah Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah. Gerakan ini dimulai melalui rekonsiliasi dan konsolidasi nasional dengan mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar, mendeklarasikan Piagam Madinah dan perjanjian perdamaian dengan satu-satu suku Yahudi. Batas-batas wilayah mulai ditetapkan dan angkatan perang pun mulai dibangun.
Oleh karena itu, perlu untuk menerapakan kebijakan yang diterapkan dalam sistem sebuah negara memalalui perpolitikan untuk bisa masuk dalam rana parlemen. Sebagai orang muslim yang tinggal di negara yang penuh loh jinawe dengan kekayaan alamnya janganlah sampai terjajah dalam ideolgi politik barat, sebagai sebab segala sumber becana dan kerusakan dimuka bumi, karena kita semakin jauh dari Allah swt.

             
                                                                                                                 







Post a Comment for "Dari masa ke masa"